Kamis, 22 Maret 2012

PRANA ALIAS CHI YANG MENYEMBUHKAN


Bagi terapis prana, alam menyediakan energi yang luar biasa besar dan bebas untuk diambil. Dengan kemampuannya ia mengumpulkan tenaga dari alam, mengolahnya di dalam tubuh, dan memancarkannya kepada orang yang sakit untuk mendeteksi dan menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Prana, yang dianggap sebagai energi hidup atau energi vital itu, sudah dipercaya keberadaanya sejak ratusan tahun silam. “Orang Cina menyebutnya chi, sementara di Polinesia dikenal dengan istilah manna. Ada juga yang menamainya energi bioplasmik. Sedangkan di India, dan juga Indonesia, dikenal sebagai prana,” kata Drs. Indra Gunawan, MBA, Ketua Yayasan Prana Indonesia.
“Prana yang berarti sinar suci Alam adalah zat yang menghidupkan,” kata Drs. IGK Putra Wirawan, pengusada (penyembuh, terapis) prana pada Klinik Prana Murti, Depok, Jawa Barat.
Energi ini terdapat di mana-mana di alam semesta, entah di tanah, atmosfer, pohon, dsb. dengan kadar kekuatan yang berbeda-beda. “Namun yang paling besar getarannya adalah prana yang bersumber dari matahari, bumi, dan udara atau alam,” tutur Putra Wirawan.
Energi prana, menurut Indra Gunawan, bersifat siap pakai, dan kegunaannya pun bermacam-macam. Yang menarik, selain dimanfaatkan sebagai unsur penting dalam upaya beladiri pada seni beladiri, tambah Gunawan, energi tak kasat mata itu bisa untuk kesehatan atau terapi berbagai penyakit.
Sudah barang tentu, agar bisa memanfaatkan tenaga prana untuk kepentingan seperti itu, orang harus berlatih secara khusus; biasanya itu dilakukan di perkumpulan olahraga seni beladiri tertentu. Manakala seluruh cakra (inti kekuatan atau pusat energi yang ada di dalam tubuh manusia) “terbuka”, menurut Putra Wirawan, orang akan mampu menarik prana alam secara maksimal. Orang dengan tingkatan ini akan punya kemampuan mengobati penyakit.
Medis dan nonmedis
Menurut Putra Wirawan, penyakit yang bisa ditangani bukan hanya yang bersifat medis tetapi juga nonmedis macam santet atau gangguan roh halus. Penyakit atau gangguan yang diderita pasien bisa dideteksi dengan getaran lewat kepekaan, terutama cakra tangan.
Konon, kalau sekadar gangguan seperti pening atau sakit gigi, itu mudah sekali diobati. Sakit kepala karena migren, misalnya, cukup enam kali terapi. Yang juga tergolong mudah diobati antara lain kanker prostat, kanker otak, gegar otak, kanker atau tumor lever, kanker usus, dan usus buntu.
Sementara itu penyembuhan penyakit sistemik tampaknya makan waktu lebih. “Penyakit diabetes stadium satu atau dua bisa sembuh total dengan 15 – 20 kali terapi. Stadium tiga atau empat bisa sembuh kendati lebih sulit. Tapi paling tidak pasien akan terbebas dari obat setelah menjalani terapi 20 kali. Bahkan penderita diabetes stadium empat pun ada yang sembuh, setelah diterapi selama 3 – 4 bulan dengan kadar gula darah tinggal 98,” katanya.
Begitu juga dengan gejala penyakit jantung, semisal penyumbatan pembuluh darah di jantung. Jantung bengkak memerlukan terapi 6 – 10 kali. Jantung koroner 10 – 20 kali, tergantung penyempitannya. Yang sudah berat, 15 – 25 kali terapi tetapi sesudahnya perlu mengontrolkan diri pada terapis prana.
Penderita asam urat tinggi sehingga lumpuh pun bisa memanfaatkan terapi prana ini. “Pernah ada penderita asam urat tinggi yang sudah nggak bisa jalan saya tolong, dan pulangnya lari,” akunya.
Yang juga dikeluhkan para pasien yang mendatangi kliniknya adalah kemandulan. Mereka umumnya sudah 5 – 10 tahun menikah tapi belum mempunyai anak karena salah satu dari pasangannya ternyata tidak subur. Dalam kasus ini sering ditemukan kista pada kandungan, saluran indung telur menyempit atau lengket, dsb. “Dengan prana ternyata bisa diatasi dan sudah banyak pasangan yang berhasil punya anak,” tuturnya.
Virus lebih sulit
Tanpa bermaksud jumawa, Wirawan mengaku, lebih dari 98% penyakit yang diderita manusia bisa disembuhkan. Di dalamnya termasuk penyakit jiwa yang bukan karena keturunan dan berbagai penyakit yang dari sisi medis tidak bisa disembuhkan. Epilepsi, misalnya, bisa sembuh dengan beberapa kali terapi.
Namun, menurut dia, ada juga penyakit yang sulit disembuhkan yakni patah tulang, ambeien berat, dan penyakit karena virus. “Tapi kalau tulang patah itu dibetulkan posisinya oleh dokter atau ahli urut, akan cepat sembuh bila dibantu dengan prana. Sedangkan ambeien yang sudah parah itu sulit, tapi kalau masih gejala masih bisa dengan beberapa kali terapi prana.”
Kendati demikian Wirawan mengaku, “Kami sudah mampu menyembuhkan dua orang penderita AIDS. Juga kanker darah dengan kira-kira 15 kali terapi.”
Putra Wirawan yang bertutur kata lembut itu menyarankan, sebaiknya pasien datang sekali sehari, terutama kalau penyakitnya tidak parah. Untuk penyakit-penyakit tertentu, seperti penyakit kanker superganas, bisa dua kali sehari – pagi dan sore. Tenggang waktu antara terapi satu dengan yang lain paling tidak 5 atau 6 jam, tapi disarankan 24 jam. Sebab, organ yang sakit juga perlu waktu untuk proses penyembuhan. “Kami sarankan, tenggang waktu pengobatan tidak lebih dari seminggu, karena kalau lebih dari itu penyakit akan tumbuh lagi,” katanya.
Dalam praktiknya pasien tidak diberi obat atau ramuan apa pun, kecuali air yang diisi kekuatan prana. “Itu pun terutama untuk orang yang kecanduan narkotika. Juga tak ada pantangan khusus, kecuali yang disesuaikan dengan ilmu kedokteran. Misalnya, bagi penderita asam urat tinggi, ya kurangi makan kacang-kacangan, emping, kangkung, dan buncis,” ujarnya.
Sementara itu Klinik Prana Utama, Sunter, Jakarta Utara menerapkan penyembuhan dengan tenaga prana ala Choa Kok Sui (seperti tertulis dalam buku Penyembuhan Dengan Tenaga Prana karangan Choa Kok Sui). Klinik itu juga mengklaim bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Mulai dari sakit kepala, patah tulang, gegar otak, cedera punggung, luka bakar, sulit tidur, kista, infeksi, glaukoma, katarak, berbagai penyakit kulit, jantung, stroke, pernapasan, pencernaan, kolesterol, wasir, gangguan ginjal, kemandulan, leukemia, radang otak, kanker, tumor, dll.
Menurut Indra Gunawan, pengusada prana dengan teknik Choa Kok Sui menganjurkan, pasien tidak mandi beberapa waktu, 10 – 12 jam, supaya energi yang disalurkan meresap ke dalam tubuh. “Ada baiknya juga pasien pantang minuman beralkohol dan makanan berlemak, tidak merokok, dll.,” kata Gunawan.
Lama penyembuhan, menurut Gunawan, tergantung parah tidaknya penyakit, dan cukup tidaknya pemberian prana umumnya akan terasakan oleh si pasien, “Waktunya bisa seperempat hingga satu jam. Ada yang merasakan pusing kalau kelebihan dosis prana,” jelas Indra Gunawan.
Sementara itu, menurut Putra Wirawan, pengusada mumpuni bisa merasakan cukup tidaknya prana yang dibutuhkan oleh pasien. “Kalau telapak tangan tidak lagi merasakan getaran, itu pertanda keperluan prana sudah cukup. Tapi bagi yang kurang peka ukuran cukup tidaknya prana berdasarkan waktu, biasanya 10 – 15 menit untuk satu lokasi penyakit,” katanya.
Ketidakseimbangan energi
Dalam pandangan Wirawan, penyembuhan dengan prana mendasarkan diri pada ilmu Yoga. Dalam Yoga tubuh manusia diyakini terdiri atas badan kasar (hangga salira) dan badan halus (astral salira). Badan halus terbagi lagi atas antah salira dan sukma salira. “Kedua badan ini bisa sakit,” jelasnya.
Menurut dia, jika diraba dengan kekuatan getaran, badan halus manusia berupa lapisan-lapisan yang disebut aura dan ada kalanya cekung atau menggelembung.
Pada bagian tubuh yang sakit, menurut Wirawan, diyakini terdapat vitalitas usang. Nah, dalam proses pengobatan, vitalitas usang itu dibuang, dan diganti dengan vitalitas yang masih fresh. Vitalitas itu sesungguhnya prana. “Dokter mengobati badan kasar, dan kalau sembuh, badan halus ikut sembuh. Sedangkan terapi prana mengobati kedua-duanya. Badan kasar dipulihkan, badan halus disembuhkan,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan oleh Indra Gunawan. Dari sudut pandang prana, penyakit muncul karena tak seimbangnya energi dalam tubuh. Bisa jadi auranya menipis, menebal lantaran “kotor” atau bocornya energi. “Jadi, prinsip penyembuhan dengan prana adalah memperbaiki bagian aura yang tidak sempurna atau tidak seimbang,” tegasnya.
Penyakit, tambah Indra Gunawan, umumnya hinggap di tubuh bioplasmik (aura) terlebih dahulu sebelum ke organ fisik. Misalnya, sebelum jantungnya sakit, tubuh bioplasmik yang berada di luar tubuh sudah menampakkan kelainan. “Namun dalam kasus kecelakaan, yang lebih dulu rusak fisik, menyusul kemudian bioplasmik,” jelasnya.
Beberapa faktor, kata Gunawan, ikut berperan dalam proses penyembuhan. Yakni kepercayaan diri, keterampilan, dan tingkat spiritual yang ada pada diri penyembuh. “Sikap penerimaan pasien juga ikut menentukan. Makin reseptif, makin baik. Yang penting tidak menolak. Sebab, menolak seperti halnya membentengi diri dari energi yang akan masuk.”
Dalam praktiknya Choa Kok Sui menggunakan metode penyembuhan beberapa tahap. Mula-mula dilakukan penelusuran (scanning) untuk mengetahui bagian bioplasmik yang menebal maupun menipis. Kemudian dilanjutkan penyapuan (wipping), meliputi penyapuan umum (seluruh tubuh), dan penyapuan lokal pada bagian yang sakit. Perlu tersedia wadah berisi air garam untuk “melarutkan” penyakit atau kekuatan-kekuatan negatif. Atau, bisa juga dengan membayangkan kobaran api biru. Baru dilanjutkan dengan penyaluran energi. Dalam hal ini penyembuh mengambil prana dari udara lalu mengalirkannya ke bagian tubuh pasien yang sakit.
Dalam proses penyembuhan dengan prana, menurut Indra Gunawan, selain memberikan energi ke bagian yang sakit, juga memperbaiki cakra tertentu. Kalau penyakit berkaitan dengan sesak napas, selain paru-paru juga digarap kerongkongan, solar flexus, juga cakra pusar, dan cakra ajna. Kalau sakit perut, yang digarap tentu bagian pencernaan dan cakra pusar.
Bagi pengusada yang sudah kampiun, berdasarkan teknik Choa Kok Sui, prana masih bisa dipilah lagi menjadi warna-warni pelangi. “Penyembuh tingkat mahir bisa mengambil prana tertentu. Misal, untuk penyapuan digunakan prana hijau. Prana hijau punya efek netral dan bisa diterapkan pada bagian mana pun. Hijau juga mematikan kuman atau bakteri. Sementara bagi yang belum mencapai tingkat lanjut, untuk penyapuan menggunakan prana putih,” jelas Indra Gunawan.
Wujud prana tergantung niatnya
Dibandingkan dengan teknik Choa Kok Sui, prosedur penyembuhan prana ala Prana Murti secara garis besar sama. Hanya saja dalam tahap penyapuan, pengusada di klinik Prana Murti “menarik” kekuatan negatif dari tubuh pasien untuk ditransit ke hidung, tapi tidak sampai tertelan, kemudian dibuang. “Telapak tangan terasa kencang dan kadang panas. Penyakit makin parah ditandai oleh telapak tangan makin terasa panas. Kalau di tubuh pasien terdapat kekuatan negatif, telapak akan terasan gatal,” kata Wirawan yang belajar menyembuhkan sejak kelas IV SD.
Langkah berikutnya mendeteksi jenis penyakit – medis atau nonmedis. Kalau penyakit itu ternyata karena santet, pengaruh santet harus dibuang terlebih dulu. Kalau kekuatan santet lebih lemah dari penyembuhnya, akan mudah tersedot atau terbuang. Begitu pengaruh santet hilang, tubuh diproteksi agar kekuatan santet tidak masuk lagi. Selanjutnya, pada bagian tubuh yang sehat ditransfer kekuatan prana. Setiap organ, misalnya usus besar, dideteksi dengan getaran. “Bila organ sehat, akan memberikan respons berupa getaran. Jika tak ada respons, berarti ada masalah,” jelas Wirawan.
Organ lever dideteksi lebih lanjut juga dengan sarana getaran untuk mengetahui apakah ada tumor, kanker, atau penumpukan lemak. “Dalam waktu lima menit bisa dideteksi dan didiagnosis penyakitnya secara komplit,” katanya.
Seumpama pada titik tertentu terdapat kanker dan sudah menyebar, maka perlu dideteksi bagian lain lagi, seperti lever, paru-paru, pankreas, dsb. Stadium penyakit kanker juga bisa diketahui lewat getaran cakra tangan.
Ketika melakukan penyembuhan, pengusada di Klinik Prana Murti senantiasa dibarengi dengan ucapan niat dan doa, “Ya, Tuhan karuniailah hambaMu kekuatan untuk memusnahkan penyakit apa pun dalam tubuh ini sampai ke akar-akarnya.”
Prana yang digunakan untuk penyembuhan itu dihimpun lewat cakra tangan atau cakra lain, kemudian “diproses”, dan dikeluarkan lagi sebagai “obat”. “Tetapi prana itu belum sesuai dengan kehendak kita untuk apa. Masih murni. Prana disalurkan ke cakra pusar untuk ‘diproses’. Kemudian dipancarkan ke sasaran lewat cakra tangan kanan,” ujar Putra Wirawan.
Kalau diniatkan panas, misalnya untuk membakar kanker agar musnah sampai ke akar-akarnya, maka yang keluar hawa panas atau kekuatan api. Lama-kelamaan kanker itu akan mati. Kalau berniat mengobati sakit bengkak dan mohon sehat sempurna, pasien akan merasakan sensasi dingin. “Jadi, prana ‘diproses’ sesuai dengan niatnya untuk apa,” tegasnya.
Bagi yang mampu melihat dengan mata batin, sinar prana yang terpancar akan tampak berwarna sesuai dengan kehendaknya. Seumpama niatnya untuk membakar, maka sinar merah yang akan tampak. Seperti yang dialami Ny. Nyoman S. yang juga seorang pengusada prana.
“Ketika melakukan terapi pada pasien tumor otak kecil, di bagian kepala belakang muncul sinar merah. Pada pasien jantung, tampak ada sinar berwarna pada bagian yang diterapi. Ketika mengobati kista, kelihatan warna putih. Warna itu muncul dengan sendirinya, tanpa diminta,” tutur Ny. Nyoman.
Terapi jarak jauh
Dengan tenaga prana, pasien bisa disembuhkan dari jarak jauh. “Pasien di Belanda, Australia, atau Hongkong, bisa diobati dari sini. Dengan sarana foto pasien, pengusada berimajinasi berada di depan pasien, atau sebaliknya pasien berada di hadapannya. Selanjutnya dideteksi, diagnosis lewat getaran, lalu diterapi,” tutur Putra. Prinsip pengobatan jarak jauh maupun jarak dekat (langsung) sama saja.
Di samping untuk menyembuhkan orang lain, tenaga prana juga bisa untuk menyembuhkan diri sendiri. Prosedur atau tekniknya sama saja. Bahkan, menurut Putra Wirawan, untuk menyembuhkan diri sendiri selain menggunakan cakra tangan, bisa juga dengan meditasi – menarik prana ke cakra pusar dan membiaskannya ke seluruh tubuh, lalu mengendapkannya ke bagian yang sakit.
Karena energi prana juga terdapat pohon, maka memeluk pohon rindang bagi orang awam baik untuk menjaga kesehatan. “Duduk hening di bawah pohon atau meditasi mungkin bisa menyembuhkan stres. Stres hilang, organ hormonal dalam tubuh berfungsi normal, dan orang itu menjadi sehat,” kata Indra Gunawan.
Memeluk atau duduk di bawah pohon, lanjut Indra, hanya menambah energi, belum sampai penyembuhan total. Mungkin lebih untuk memulihkan energi yang hilang. “Kalau ia sakit, dengan cara begitu belum tuntas penyembuhannya,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar